Selepas sholat maghrib di Masjid dekat kantor, sebenarnya saya ingin langsung pulang ke kosan. Tapi ternyata Allah berkehendak lain, hujan turun mengguyur Kota Bandung. Dan pikiran saya berubah, saya memutuskan untuk bertahan dikantor hingga hujan reda. Sambil menunggu hujan reda, saya coba isi waktu kosong ini untuk tilawah. Hitung – hitung buat kejar setoran targetan tilawah per hari. Bagaimana dengan sahabat? Apakah punya juga targetan jumlah halaman / lembar Al Qur’an yang harus dibaca? Kalo ada, saya doakan semoga selalu istiqomah dan semangat dalam melaksanakannya. Bagi yang belum, saya sarankan untuk membuat targetan berapa halaman / lembar Al Qur’an yang harus dibaca setiap hari. Bisakan? Masa setiap hari kita bisa konsisten baca timeline twitter tapi ngaji Al Qur’an tidak bisa? Bismillah dan kerjakan sekarang juga.

Kejar setoran tilawah sudah beres, saya tengok ke jendela tapi hujan masih cukup deras. Saya outuskan kembali ke ruang kerja saya, eh ternyata masih ada rekan kerja saya yang juga sedang menunggu hujan reda. Alhamdulillah ada yang senasib sama saya, jadi ada teman ngobrol. Kami pun ngobrol macem – macem, mulai dari kerjaan hari ini sampai pengalaman pribadi. Hingga ada satu bahasan yang saya pikir paling bermakna dari obrolan kami ba’da maghrib itu. Teman saya ini kemarin baru saja membaca tulisan sahabatnya di sebuah blog. Dan isi tulisan tersebut tentang pra nikah, yaitu memantaskan diri. Saya pun coba mendengarkan baik – baik cerita teman saya ini. Jadi dalam tulisan tersebut ada satu kalimat yang sangat makjleb menurut saya. Yaitu, “Sudah selayaknyalah kita memantaskan diri menjadi baik atau bahkan lebih baik untuk mendapatkan jodoh yang sesuai harapan. Namun apakah proses memantaskan diri ini hanya untuk sekedar mendapatkan jodoh saja? Tidak lebih dari itu?”.

Teman saya memberikan pendapat atas kalimat diatas. Dia setuju dengan potongan tulisan sahabatnya tersebut. Apakah kita hanya memantaskan diri demi jodoh saja? Jika sudah dapat, berhentikah kita memantaskan diri untuk menjadi lebih baik?. Saya pun tak sungkan – sungkan untuk mengatakan bahwa saya juga sepakat dengan pendapat dia dan sahabatnya. Mengapa? Sahabat, mungkin sudah sering kita dengar bahwa kita harus memantaskan diri untuk menjemput jodoh yang baik. Benar, saya tidak menyalahkan. Namun jika kita melihat lebih zoom in lagi pendapat tersebut, masih bisa untuk dikritisi.

Sahabat, memantaskan diri disini tentulah maksudnya menjadikan diri kita baik atau lebih baik dari kondisi sebelumnya. Maksudnya supaya dapat jodoh yang baik – baik pula. Ya misalnya kalau yang laki – laki ingin sholeh, supaya dapat jodoh seorang wanita yang sholehah. Namun timbul pertanyaan selanjutnya, jika sudah mendapatkan jodoh yang baik dan sesuai harapan, lantas berhentikah kita untuk memantaskan diri?. Jika kita renungi, seharusnya kita memantaskan diri untuk dan karena Allah saja. Bukan karena jodoh, laki – laki sholeh, atau wanita sholehah. Itu biarlah Allah Yang Maha Pemberi yang akan memberikannya kepada kita. Karena sudah hukumnya bahwa laki – laki yang baik hanya untuk wanita yang baik, begitu juga sebaliknya. Kita hanya perlu memantaskan diri karena rasa cinta kita kepada Allah dan untuk mendapatkan kasih sayang dari Allah. Dan sebenarnya kalau pun kita memantaskan diri untuk mendapatkan jodoh, kita harus lanjut lagi memantaskan diri untuk menjadi suami atau istri yang baik. Kemudian memantaskan diri untuk menjadi menantu yang baik di mata mertua. Sampai situ sajakah? Belum, kita memantaskan diri lagi untuk menjadi ayah atau ibu yang baik untuk anak – anak kita. Ternyata memantaskan diri itu kontinyu dan memang ujungnya adalah karena dan untuk Allah saja. Jadi marilah kita luruskan lagi niat untuk memantaskan diri, bukan karena jodoh tetapi karena Yang Maha Pemberi jodoh.

Ade Fahrizal, S.Pd

Praktisi dan Pengamat Pendidikan Islam